
Pemerintah Indonesia mengambil langkah progresif dalam aksi iklim dengan dua inisiatif utama: melegalkan rencana zonasi karbon biru yang berfokus pada padang lamun dan memajukan program biodiesel B50. Langkah ini disambut optimis, namun para ahli mengingatkan pentingnya memastikan manfaat bagi masyarakat lokal dan menjaga kelestarian ekosistem.
Prioritas Nasional untuk Ekosistem Lamun
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tengah menyusun amandemen peraturan pemerintah untuk menetapkan 17 habitat lamun di seluruh nusantara sebagai Kawasan Strategis Nasional Tertentu (KSNT). Status ini akan memberikan prioritas pada aspek kedaulatan, perlindungan lingkungan, dan warisan dunia.
Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut KKP, Kartika Listriana, menyatakan bahwa rencana zonasi Cadangan Karbon Biru ini merupakan komitmen Indonesia untuk melawan krisis iklim, melindungi ekosistem laut, dan mendukung masyarakat pesisir.
“Penataan ruang laut bertujuan untuk menciptakan manfaat nyata,” ujarnya dalam siaran pers. “Mulai dari memberikan kepastian hukum bagi investor di sektor kelautan dan perikanan, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, hingga menjaga pesisir dan laut kita.”
Indonesia memiliki sekitar 11,5% padang lamun dunia, sebuah sumber daya yang diharapkan dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kapasitas penyimpanan karbon. Para ilmuwan memperkirakan bahwa lamun dapat menangkap karbon hingga 35 kali lebih efektif per unit area dibandingkan hutan hujan tropis.
Potensi Ekonomi dan Lokasi Strategis
Menurut KKP, 17 lokasi telah diidentifikasi sebagai calon KSNT untuk cadangan karbon biru dalam Rencana Tata Ruang Nasional 2025-2045. Zona-zona yang diusulkan membentang dari Kotabaru, Kepulauan Derawan, Kepulauan Tanimbar, Kepulauan Aru, hingga wilayah pesisir di sekitar Bombana, Pohuwato, Kwandang, Lingga, Menui, Bontang, Sapudi dan Kangean, Tual, Nias, Subi, Toli-Toli, serta Supiori.
Kartika menambahkan bahwa potensi ekonomi dari pasar karbon sangat signifikan, dengan valuasi karbon mencapai $800.000 per kilometer persegi padang lamun. Namun, untuk mewujudkannya, diperlukan regulasi yang mendukung, manajemen dampak aktivitas darat dan laut yang efektif, serta keterlibatan aktif para pemangku kepentingan.
Pandangan Pakar dan Tantangan Implementasi
Meskipun potensi laut belum sepenuhnya dimanfaatkan seperti sektor kehutanan dalam komitmen Perjanjian Paris Indonesia, ekosistem seperti lamun menawarkan peluang besar. Sayangnya, menurut IUCN, padang lamun dunia menyusut sekitar 7% setiap tahunnya.
Susan Lusiana, manajer senior karbon biru dari yayasan lingkungan Konservasi Indonesia, menyebut rencana KSNT ini sebagai langkah besar. Namun, ia mengingatkan bahwa zonasi tidak boleh hanya sebatas tulisan di atas kertas, melainkan harus dapat ditegakkan dan diimplementasikan di lapangan.
“Kami membantu mengumpulkan data relevan—biofisik, hidrologi, karbon, dan sosial-ekonomi. Setiap lokasi nantinya akan memiliki profil dan opsi pembiayaan yang disesuaikan dengan konteksnya,” jelas Susan.
Sementara itu, Wiro Wirandi, pendiri LSM Konservasi Laboratorium, menyoroti adanya risiko komersialisasi dalam kerangka KSNT ini. “Dari kerangka yang kami lihat, ini adalah konservasi yang akan dikomersialkan,” ujarnya, menekankan perlunya pengawasan agar manfaat ekonomi tidak mengesampingkan tujuan ekologis dan kesejahteraan masyarakat.
Indonesia Menuju Biodiesel B50
Di sektor energi, Indonesia juga menunjukkan kemajuan signifikan. Pemerintah telah menyelesaikan uji laboratorium untuk biodiesel B50, yaitu bahan bakar yang mengandung 50% campuran berbasis minyak kelapa sawit. Direktur Bioenergi Kementerian Energi, Edi Wibowo, mengonfirmasi bahwa setelah pengujian mesin rampung pada Agustus, tahap selanjutnya adalah uji jalan.
Langkah ini merupakan bagian dari upaya Indonesia untuk meningkatkan mandat campuran biodiesel dari B40 (40%) yang berlaku saat ini. Tujuan utamanya adalah untuk mengurangi ketergantungan negara pada impor bahan bakar fosil dan beralih ke sumber energi yang lebih berkelanjutan.