Ajang Trade Expo Indonesia (TEI) ke-40 ditutup dengan pencapaian gemilang, menegaskan posisinya sebagai platform perdagangan internasional utama di tanah air. Keberhasilan ini tidak hanya mencerminkan tumbuhnya kepercayaan global terhadap produk ekspor Indonesia tetapi juga menunjukkan ketahanan dan daya saing bangsa. Sementara itu, di pasar keuangan, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) baru saja mengalami pelemahan dalam dua sesi beruntun, namun diperkirakan akan menemukan traksi positif pada perdagangan Rabu.
Rekor Transaksi TEI Lampaui Target
Edisi TEI tahun ini mencatat total transaksi sebesar USD 22,8 miliar, jauh melampaui target awal yang ditetapkan sebesar USD 16,5 miliar. Capaian yang mengesankan ini menggarisbawahi agilitas strategis dan kemampuan adaptasi para pelaku usaha Indonesia dalam memanfaatkan peluang global.
Antusiasme eksportir juga terlihat jelas dari partisipasi 1.619 peserta pameran, melampaui target 1.500 peserta. TEI 2025 menampilkan spektrum produk unggulan nasional yang luas di tiga zona pameran utama: Zona Makanan & Minuman (FNB) dengan 623 peserta, Zona Fesyen, Gaya Hidup & Lainnya yang diikuti 603 peserta, serta Zona Produk Manufaktur & Jasa dengan 393 peserta.
Minat Pembeli Global dan Kontribusi UMKM
Peningkatan partisipasi lintas sektor ini mencerminkan optimisme yang tumbuh di kalangan industri Indonesia untuk memperluas jaringan ekspor. Ajang ini berhasil menarik 8.045 pembeli dari 131 negara, melampaui angka tahun lalu, dengan total pengunjung mencapai 34.550 orang, jauh di atas target 30.000.
Menurut data Kementerian Perdagangan, lima negara dengan jumlah pembeli terbanyak adalah Malaysia (769), Tiongkok (605), India (594), Nigeria (509), dan Mesir. Namun, lima negara penghasil nilai transaksi terbesar adalah India (USD 4,3 miliar), diikuti oleh Belanda (USD 3,9 miliar), Vietnam (USD 3,3 miliar), Filipina (USD 3,1 miliar), dan Tiongkok (USD 2,4 miliar).
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) memainkan peran krusial, menyumbang USD 474,7 juta (sekitar Rp 7,8 triliun) dari total transaksi. Produk ekspor yang paling diminati tahun ini berasal dari sektor sumber daya dan manufaktur, dipimpin oleh produk tambang (USD 5,5 miliar), logam mulia (USD 2,7 miliar), minyak sawit dan turunannya (USD 2,3 miliar), arang dan briket (USD 1,6 miliar), serta suku cadang otomotif (USD 1,4 miliar).
Pergerakan di Pasar Saham
Di sisi lain, cerminan ekonomi dari pasar modal menunjukkan gambaran yang berbeda dalam jangka pendek. Pasar saham Indonesia bergerak lebih rendah dalam dua sesi berturut-turut, melemah hampir 30 poin atau 0,4 persen. IHSG kini berada tipis di atas level 8.360 poin.
Pada penutupan perdagangan Selasa, IHSG selesai sedikit lebih rendah, merosot 24,73 poin atau 0,29 persen ke posisi 8.366,51, setelah diperdagangkan antara 8.338,40 dan 8.443,69. Pelemahan ini terutama didorong oleh kerugian pada saham-saham semen dan keuangan, meskipun ada kenaikan dari saham telekomunikasi dan kinerja yang beragam dari saham sumber daya.
Kinerja Emiten dan Sentimen Global
Di antara saham-saham aktif, Bank Mandiri (BMRI) terkoreksi 1,06 persen, Bank Danamon Indonesia (BDMN) turun 0,39 persen, Bank Central Asia (BBCA) tergelincir 2,04 persen, dan Bank Rakyat Indonesia (BBRI) merosot 1,02 persen. Di sektor industri, Indocement (INTP) turun 0,37 persen dan Semen Indonesia (SMGR) anjlok 2,54 persen.
Namun, penguatan signifikan terjadi pada Indosat Ooredoo Hutchison (ISAT) yang meroket 7,25 persen. Saham sumber daya bervariasi: Energi Mega Persada (ENRG) melonjak 3,30 persen dan Bumi Resources (BUMI) meroket 32,0 persen, sementara Aneka Tambang (ANTM) turun 1,03 persen, Vale Indonesia (INCO) anjlok 2,22 persen, dan Timah (TINS) terbenam 3,21 persen.
Meskipun terjadi pelemahan domestik, prospek global untuk pasar Asia terlihat optimis di tengah harapan berakhirnya penutupan pemerintahan (shutdown) AS yang memecahkan rekor. Pasar Eropa dilaporkan naik, sementara bursa AS ditutup bervariasi.
Acuan dari Wall Street memang tidak selaras. Dow Jones melonjak 559,33 poin atau 1,18 persen, namun NASDAQ justru merosot 58,87 poin atau 0,25 persen, sementara S&P 500 naik tipis 0,21 persen. Kinerja campuran ini terjadi karena para pedagang menyuarakan ketidakpastian mengenai prospek jangka pendek pasar, terutama kemungkinan adanya gelembung teknologi (tech bubble). Kenaikan tajam harga minyak mentah juga berkontribusi pada kekuatan di antara saham-saham energi di pasar AS.