Kabar gembira bagi para penggemar genre horor psikologis, khususnya mereka yang tumbuh dengan gim konsol klasik. Cineverse dan Bloody Disgusting akhirnya secara resmi merilis trailer penuh untuk Return to Silent Hill. Ini merupakan sekuel yang telah lama dinantikan dari sineas Christophe Gans. Bagi yang masih ingat, Gans adalah sutradara di balik film Silent Hill orisinal tahun 2006. Meskipun film pertamanya sempat kurang sukses secara komersial di box office kala itu, karya tersebut justru tumbuh menjadi film kultus yang dicintai penggemar berkat visualnya yang artistik. Setelah berbagai upaya untuk menghidupkan kembali waralaba ini, Gans akhirnya kembali duduk di kursi sutradara untuk membawa sekuel ini ke bioskop, tepat 20 tahun setelah film pertamanya.
Film ini dijadwalkan rilis di bioskop Amerika Serikat pada 23 Januari 2026. Narasinya berpusat pada James Sunderland, diperankan oleh Jeremy Irvine, yang hidupnya berubah drastis ketika menerima surat misterius dari kekasihnya yang telah tiada, Mary. Surat tersebut membawanya kembali ke Silent Hill, sebuah kota yang dulunya familier namun kini telah ditelan oleh kegelapan. Dalam pencariannya menemukan Mary, James harus berhadapan dengan figur-figur mengerikan, baik yang sudah dikenal penggemar maupun makhluk baru, sembari perlahan mempertanyakan kewarasannya sendiri. Selain Irvine, film ini juga dibintangi oleh Hannah Emily Anderson, Evie Templeton, Pearse Egan, Eve Macklin, dan Emily Carding. Trailer tersebut memperlihatkan kembalinya elemen ikonik seperti Pyramid Head dan para perawat yang mengerikan, menjanjikan pengalaman visual yang setia pada materi aslinya. Skenario ditulis oleh Gans bersama Sandra Vo-Anh dan William Schneider, diadaptasi dari gim video Konami karya Hiroyuki Owaku, serta didukung oleh musik gubahan Akira Yamaoka yang legendaris.
Mahakarya Horor Korea yang Menguji Mental
Sambil menanti kembalinya Silent Hill pada tahun 2026, ada baiknya menengok kembali salah satu pencapaian terbaik dalam sinema horor Asia yang mungkin terlewatkan oleh sebagian penonton umum. Dalam jajaran film horor Korea bertema kerasukan, The Wailing (Goksung) karya sutradara Na Hong-jin yang dirilis tahun 2016 memiliki kedekatan atmosfer dengan film populer tahun 2024, Exhuma karya Jang Jae-hyun. Meski memiliki elemen klise seperti dukun bijak, iblis, dan keluarga yang harus diselamatkan, The Wailing menyuntikkan trauma pascakolonial yang nyata ke dalam ceritanya. Kehadiran elemen Jepang sebagai faktor ketakutan mengubah film ini menjadi pengalaman sinematik yang menghantui, bahkan bagi mereka yang tidak memahami konteks budaya sejarah antara Korea dan Jepang.
Cerita mengambil latar di sebuah desa pedesaan yang sunyi dan terisolasi, tempat di mana semua orang saling mengenal. Tokoh utamanya adalah Jong-goo (diperankan oleh Kwak Do-won), seorang polisi yang lamban dan kerap dikeluhkan oleh rekan-rekannya. Namun, situasi berubah mencekam ketika wabah misterius melanda desa tersebut. Penduduk yang terjangkit tiba-tiba mengamuk dengan kekerasan ekstrem, membunuh orang-orang terkasih mereka, dan berakhir dalam kondisi katatonik. Jong-goo yang sebenarnya tidak kompeten dipaksa keadaan untuk memecahkan misteri ini, terutama ketika putrinya sendiri mulai menunjukkan gejala serupa.
Paranoia dan Ketegangan Tanpa “Jump Scare”
Segala kecurigaan di desa tersebut mengarah pada kedatangan seorang pria asing asal Jepang (diperankan oleh Jun Kunimura). Namun, kehadirannya hanyalah puncak gunung es dari konspirasi okultisme yang menyelimuti desa itu. The Wailing berhasil merajut misteri yang berlapis, membuat paranoia yang dirasakan Jong-goo merembes keluar dari layar dan merasuki pikiran penonton. Berbeda dengan horor konvensional, film ini tidak bergantung pada kejutan murahan atau jump scares. Na Hong-jin membiarkan rasa takut tumbuh perlahan melalui pengambilan gambar yang panjang dan atmosfer yang menekan. Ancaman sering kali terlihat dari kejauhan, bergerak lambat namun pasti ke arah penonton, menciptakan metafora visual yang brilian tentang takdir yang tak terelakkan.
Di tengah badai kekacauan ini, Jong-goo berjuang bukan berdasarkan bukti empiris, melainkan berdasarkan mimpi buruk dan prasangka. Hal ini diperparah oleh hambatan bahasa yang signifikan. Jong-goo kerap melontarkan cacian kepada pria Jepang tersebut, sementara seorang pendeta yang bertindak sebagai penerjemah tampak kewalahan menjembatani komunikasi antara polisi yang paranoid dan pria asing yang lelah karena kesendiriannya diganggu. Ketidakmampuan berkomunikasi ini menjadi lapisan horor tersendiri, sebuah tirai pemisah antara kebenaran dan asumsi.
Film ini juga didukung oleh penampilan luar biasa dari para pemerannya, termasuk Chun Woo-hee sebagai “Wanita Misterius” dan Hwang Jung-min sebagai dukun yang ritualnya justru menambah kekacauan. Sinematografinya sangat memukau, menangkap keindahan pedesaan yang kontras dengan kengerian yang bersembunyi di balik bukit atau di dalam rumah tetangga yang tampak aman. The Wailing bukanlah sekadar “elevated horror” atau horor berbudaya yang menghindari politik tidak nyaman. Ini adalah entitas misterius yang berdiri sendiri, sebuah film yang wajib disaksikan bagi siapa pun yang ingin memahami bagaimana rasa takut dapat dibangun tanpa perlu berteriak.