Langkah strategis besar diambil oleh raksasa perdagangan asal Korea Selatan, Posco International. Unit dagang dari Posco Group ini resmi mengumumkan akuisisi produsen minyak kelapa sawit Indonesia, Sampoerna Agro, dalam kesepakatan bernilai fantastis mencapai 1,3 triliun won atau sekitar US$ 884,7 juta. Aksi korporasi yang diumumkan pada hari Kamis ini bukan sekadar perluasan aset, melainkan manuver krusial untuk memperkuat rantai pasok minyak sawit global mereka di tengah ketatnya persaingan energi hijau.
Ekspansi Besar-besaran di Tanah Air
Posco International bergerak cepat dengan mengamankan saham pengendali di perusahaan yang melantai di Bursa Efek Indonesia tersebut pada hari Rabu. Dalam keterbukaan informasinya, manajemen Posco menegaskan bahwa langkah ini adalah investasi strategis demi memperluas bisnis biofuel global mereka. Sampoerna Agro sendiri bukanlah pemain baru; perusahaan ini mengoperasikan perkebunan kelapa sawit yang luas di wilayah Sumatera dan Kalimantan, serta memiliki anak usaha produksi benih utama dan institut penelitian pertanian yang mapan.
Melalui kesepakatan jumbo ini, portofolio agro Posco International di Indonesia membengkak secara signifikan. Mereka menambahkan 316.295 hektar lahan perkebunan sawit ke dalam aset mereka. Jika digabungkan dengan operasi yang sudah ada sebelumnya, perusahaan Korea ini kini menguasai total 370.658 hektar perkebunan sawit di nusantara. Penguasaan lahan ini menjadi modal vital mengingat dinamika pasar minyak nabati yang diprediksi akan semakin ketat dalam waktu dekat.
Efek Domino Mandat Biodiesel B50
Waktu akuisisi ini sangat tepat, bertepatan dengan rencana ambisius pemerintah Indonesia untuk menggenjot program biodiesel. Laporan dari The Edge Singapore menyoroti bahwa harga minyak sawit global diperkirakan akan melonjak seiring langkah Indonesia memperketat pasokan demi memenuhi kebutuhan dalam negeri. Pemerintah berencana meningkatkan mandat biodiesel berbasis sawit dari 40% (B40) menjadi 50% (B50) pada paruh kedua tahun depan.
Program B50 ini merupakan upaya strategis Indonesia untuk menekan tagihan impor bahan bakar sekaligus mengurangi emisi gas rumah kaca. Namun, inisiatif ini—ditambah dengan stagnannya pertumbuhan produksi di negara-negara produsen utama—berpotensi memicu kenaikan harga global, menggeser alur perdagangan minyak nabati, dan meningkatkan inflasi pangan karena pembeli internasional terpaksa mencari alternatif yang lebih mahal.
Proyeksi Harga dan Kecemasan Pasar
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Eddy Martono, memberikan peringatan dini menjelang konferensi Price Outlook 2025 dan 2026. Ia menyebutkan bahwa jika pemerintah bersikeras mendorong B50 pada periode Januari-Juni mendatang, harga CPO bisa merangkak naik hingga menyentuh level MYR 5.000 (sekitar US$ 1.210) per ton. Padahal, saat laporan ini dibuat, harga sempat terkoreksi 6% secara tahunan di level MYR 4.145 akibat ketidakpastian permintaan dan peningkatan stok.
Pandangan lebih bullish datang dari Dorab Mistry, Direktur Godrej International. Ia memprediksi pemberlakuan B50 akan mengerek harga sawit ke level tertinggi dalam tiga tahun terakhir, yakni menyentuh MYR 5.500 (US$ 1.331) pada kuartal pertama tahun 2026. Di sisi domestik, kebijakan ini kemungkinan akan diikuti dengan kenaikan pungutan ekspor, yang menurut Eddy Martono, bakal berdampak langsung pada kesejahteraan petani kecil.
Dampak Bagi Importir Global
Skenario ini menempatkan konsumen global dalam posisi sulit. Matthew Biggin, analis komoditas senior di BMI, menilai bahwa pasar internasional mungkin perlu mempertimbangkan sumber pasokan lain karena Indonesia membatasi keran ekspor demi mencapai target campuran biodiesel yang lebih tinggi. Intervensi pemerintah yang memprioritaskan produksi biodiesel domestik di atas ekspor akan sangat memukul pasar impor tradisional, terutama India dan Tiongkok.
Sekretaris Jenderal Gapki, M Hadi Sugeng Wahyudiono, memperkirakan ekspansi mandat ini akan mendongkrak penggunaan sawit untuk biodiesel Indonesia hingga seperempat dari total produksi. Imbasnya, ekspor sawit nasional bisa terpangkas menjadi hanya 26 juta ton pada 2026, turun drastis dari estimasi 31 juta ton tahun ini.
Jacquelyn Yow dari CGS International Securities Group menambahkan bahwa implementasi penuh B50 bisa dimulai Juni tahun depan. Timeline ini berpotensi meningkatkan permintaan biodiesel sebesar 1,7 juta ton, sehingga total konsumsi biofuel Indonesia mencapai 15,6 juta ton. Angka tersebut setara dengan sekitar 18% dari penggunaan minyak sawit global, naik dari 17% di bawah skema B40 tahun ini. Meski uji laboratorium B50 telah rampung, perlu dicatat bahwa uji jalan (road test) untuk program ini belum dimulai.